RUMAH TIGA PINTU
“Hanya memiliki satu Ayah, satu Ibu dan satu Adik,
sayang sekali jika tidak di bahagiakan”. Hal-hal semacam itulah yang terlihat
dari seorang gadis, anak pertama dari keluarga itu.
Hidup
dizaman yang mementingkan segalanya diatas nama ‘hak’ dan ‘kebahagiaan’, kurasa
dia tidak hidup dizaman tersebut. Usianya memang belum menginjak ‘kepala 2’ ditambah
lagi statusnya yang masih seorang pelajar. Namun, cita-cita besarnya hanya
satu, yaitu menjadi guru Bahasa Inggris di Jepang.
Disebuah kamar kecil yang diisi dengan rak etalase,
meja kayu lengkap dengan berbagai alat elektroniknya yang setiap hari tidak
pernah diam, menghasilkan tulisan-tulisan karya ilmiah milik orang lain. Kadang
kulihat dia kewalahan dengan semua itu, namun apa daya, “itulah profesionalisme”
katanya.
Lima hari dalam seminggu, dia sempatkan untuk
mencari ilmu. Berkutat dengan buku-buku pelajaran, perpustakaan dan laptop
merah kesayangannya yang hampir selalu terlihat bersamanya. ‘Kana’, begitulah
orang-orang menyapanya. Siang itu sepulang kuliah, “ Ka, apa setelah ini kamu
langsung pulang?” tanya seorang teman. “Iya. Aku masih ada pekerjaan yang harus
diselesaikan.” jawabnya. “ Wah... sayang sekali. Baiklah. Sampai jumpa besok.”
balasnya sambil berlalu menuju tempat parkir.
Matahari masih terlihat berseri diatas sana,
walaupun jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Berpacu dengan ‘bebek besi’
hijaunya yang ugal-ugalan layaknya angkot yang sedang kejar setoran, 15 menit
kemudian Kanapun sudah sampai dirumahnya. “Assalamu’alaikum” ucapnya sambil
berlari kedalam rumah. “Wa’alaikumsa, ...” belum selesai balasan dari Ibunya. “crek,
crek, crek, crek, crek, criekkk..” bunyi mesin pencetak memenuhi kamarnya.
Malam itu adalah malam yang begitu panjang baginya.
Kertas HVS dimana-mana, buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaanpun ikut
membuat kamar yang kecil itu menjadi sesak dan berantakan.
“Kemarin,
setelah pulang kuliah, aku dan Ibuku ke sawah dan ke ‘kali’, mencari sesuatu yg
bahkan orang lain pikir mungkin ‘jijik’ untuk memakannya. Keong. Disana kami
ngobrol seperti kebiasaan perempuan yg suka ‘gosip’. Aku menceritakan bagaimana
kuliahku hari ini, ngomongin dosen yg gak aku suka, UASku, sampai pengalaman keujanan
saat berangkat ke kampus. Kami 2 org wanita yg sederhana. Kemudian kami memisahkan
daging dari kulitnya, hingga memasaknya untuk dinikmati sekeluarga. Semua
dilakukan berdua. Sambil menghafal tugas ‘Irregular Verbs’ di sore hari,
sedikit gerimis dan nyamuk dimana-mana, karna kami berada diluar, deket kebon.
Bau amis pula. Mungkin ini lebih baik daripada ucapan, cium, peluk atau
bermanja2 ria. Karna, banyak ‘hal berarti’ yg setidaknya bisa kita lakukan,
bukan hanya untuk ‘hari’ ini, tapi seterusnya. Selamat Malam.” tulisnya dibuku hariannya.
“KANAAA, JAM BERAPA INIII..” teriak seorang wanita
yang tidak asing ditelinganya. “ Ya Tuhan... (dalam hati). (Gubrak...)”
terperanjat dari tempat tidur.
Kemudian
dilihat ibunya yang berjalan kesana-kemari, muka kesal juga tak lepas dari
dirinya. Kana yang melihat itupun langsung mengambil apa yang dia kira bisa ia
kerjakan, tapi apapun yang bisa ia lakukan hanyalah dengan sapu, spoons, serta
knob mesin cuci, bukan dengan ulekan, wajan, minyak ataupun bumbu dapur.
Menyesal, pastilah sudah ada dalam hatinya. Merasa tidak berguna, itulah perasaanya.
Dikerjakannya hal-hal yang ia bisa. Bahkan jarum jam
yang sudah lewat di pukul 7 pagi bukan alasan baginya untuk segera mandi dan
berangkat kesekolah. Dia hanya berharap bahwa dosen pagi ini akan berbaik hati
mengizinkannya masuk kelas dan mengikuti kuliah seperti biasanya. “I’m sorry
mam, I come late” ucapnya begitu sampai dikelas. “Sit down, please” jawab sang
dosen.
Itulah Kana. Pendidikan memang segala-galanya
baginya. Dia yakin dengan pendidikan, tidak ada orang lagi yang akan menghinanya
dengan kalimat “Kamu kok jelek banget
sih” atau “Memang kamu bisa apa”.
Kadang juga dengan cara yang sedikit halus, pamer dihadapannya dengan gadget harga jutaan, pakaian branded edisi terbatas maupun riasan
cantik bak selebritis yang mengisyaratkan; “Kamu
itu bukan apa-apa. Orang sepertimu tidak akan bisa lebih baik dari kami. Betapa
bodohnya kamu, harusnya kamu manfaat saja harta orang tuamu itu.
Bersenang-senanglah seperti kami. Tcihh.. katanya anak kuliahan, tapi otakmu
masih seperti anak kampungan” begitulah kira-kira.
Tapi, bukan Kana namanya jika mudah terpengaruh omongan
orang. Dia lebih bahagia menikmati uang recehan yang ia hasilkan sendiri untuk
kebutuhannya, daripada mengais setiap rupiah hasil jerih payah orang tuanya
hanya agar terlihat tidak ‘kampungan’.
Siang harinya ia nampak berjalan ke perpustakaan.
Namun, ternyata bukan di barisan rak buku maupun meja baca ia berhenti, melainkan
disebuah kursi yang dimejanya terdapat komputer. Dia bilang itu jauh lebih baik
daripada mengahabiskan kuota internetnya. “Siang mbak Kana. Pasti mau pake
komputernya lagi kan?” sapa petugas perpustakaan. Dalam hatinya dia berkata,
“Wahh.. paham benar ibu ini”, “Oh, iya bu. Komputernya ada? balasnya dengan
malu-malu. “Ada, disana mbak. Silahkan” jawab ibu itu sambil mempersilahkannya.
Diambilnya satu per satu file dari internet kemudian
ia masukkan ke flashdisk miliknya.
File tersebut nantinya masih akan diolah atau diedit di rumah. Kuliah hari ini berlanjut hingga sore hari. Disaat
mata yang lain merem-melek memperhatikan dosen yang entah membicarakan apa
didepan sana, sepasang mata Kana justru melihat kearah lain. Dilihatnya sesosok
pria mungil yang tengah duduk di bangku
paling pojok dengan mata berbinar-binar. Dia sudah melakukannya sejak hari
pertama kuliah dimulai. Tidak sulit baginya untuk bilang bahwa dia
mencintainya, hanya saja dia lebih suka mengungkapkannya dengan cara yang lain,
yang tidak semua orang mengerti, kecuali si dia. “I think enough for today,
bye-bye and see you next week”. Itulah kata-kata paling indah yang keluar dari
mulut dosen ketika hari mulai gelap dan otak mulai lelah.
Ditutupnya kuliah hari itu dengan para mahasiswa
yang saling mendahului agar bisa cepat-cepat pulang kerumah, ke kosan ataupun
mereka yang harus menggunakan otak mereka lagi untuk bekerja seperti Kana.
Tepat jam 5.30 sore, setelah melewati jalanan yang
macet kemudian daerah pedesaan yang sedikit gelap ditambah lagi dengan jalan
yang belum bisa dibilang layak, gadis itu akhirnya tiba dirumahnya. Tempatnya
berbagi cerita, tempatnya mengeluh dan menemukan pelipur yang disebut dengan
‘kasih sayang’.
Tiba-tiba, pemandangan yang paling ia hindari
datang. Halaman rumah yang bersih, tidak ada piring kotor maupun pakaian yang
tertinggal dijemuran. Begitu ia masuk, ternyata ibunya sedang membersihkan
lantai setiap ruangan di rumah itu. Dengan tas yang masih menempel
dipunggungnya, dihampirilah ibunya. Dia ambil alih sapu ditangan ibunya sambil
berkata, “Sini mak, biar Kana yang bersihkan”. “Sudahlah, tidak usah” jawab
ibunya seraya mengambil kembali sapu ditangan Kana. Ada rasa kecewa di raut
wajah sang ibu.
Kana lalu menjelaskan bahwa kuliah hari ini sampai
sore, namun ibunya masih saja menggerakkan sapu itu kesana kemari seakan tidak
ada orang lain dirumah itu. Dia tahu ibunya marah, kesal dan kecewa dengannya
karena ia tidak melakukan pekerjaan rumahnya sore ini ditambah lagi kejadian
tadi pagi. Tapi sungguh, itu bukan kemauan Kana. Sialnya, malam itu listrik
padam. Ibu, ayah dan adiknya, semuanya berkumpul diruang tengah bagaikan
keluarga yang sudah bahagia walau tanpa kehadiran anak pertama. Kana yang
sedari tadi hanya mengurung diri dikamarpun langsung keluar.
Suasana remang-remang diruang keluargapun tiba-tiba menjadi
terang kala diterangi lilin bertuliskan “43” diiringi nyanyian “Selamat ulang
tahun kami ucapkan. Selamat panjang umur kita ‘kan doakan. Selamat sejahtera,
sehat sentosa. Selamat panjang umur dan bahagia”.
Kejutan malam itu benar-benar membuat ibunya
terkejut. Ayahnya tahu bahwa Kana memang anak yang pemalas dan tidak secantik
anak yang lain, namun ia tahu bahwa dia bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa
dilakukan hanya dengan kecantikan dan sikap rajin saja.
Suasana remang-remang setelah lilin ditiup pun tidak
bisa menyembukan air mata bahagia ibunya. Diciumnya kening ibunya dan dikedua
pipinya. “Kana do’ain semoga ibu panjang umur, sehat terus ya sampai nanti Kana
lulus kuliah dan jadi orang sukses seperti yang ibu harapkan. Kana janji bakal
belajar yang bener dan nurut sama ibu dan bapak”. Namun kenyataannya justru
kata-kata itu membuat airmata ibunya semakin tak tertahan.
Malam itu semuanya bahagia. Tidak sia-sia setiap
hari ia bekerja keras, dirumah, disekolah, hanya untuk membelikan kado ulang
tahun paling indah untuk ibunya. Bahkan ia rela pulang larut untuk membelikan
kue ulang tahun yang paling lezat untuk ibunya yang tersayang.
Maka benar saat ia berkata, “hanya memiliki satu Ayah, satu Ibu dan satu Adik, sayang sekali jika
tidak di bahagiakan”. Kalimat itulah yang menjadi motivator dan petunjuk
jalan kala ia tersesat, yang akan selalu membawanya pulang ke rumah yang
disebut keluarga.
***
Tamat ***
No comments:
Post a Comment