GOLDEN
20
Hujan. Suaranya, dinginnya, segala hal
tentang hujan, serta kenangan pahit yang dibawa seiring jatuhnya ia ke muka
bumi; kau takkan percaya bahwa ada yang
menganggap hujan itu sebagai teman. Bagi Reina, hujan sudah seperti bagian dari
dirinya. Walaupun dia berada jauh dan menetap dilangit, namun saat air mata
tumpah dipipi, dia selalu ada untuknya. Dia adalah pelindung dari tatapan orang
lain dan membuatnya tetap tegak. Saat hujan turun, dia juga berbisik bagaikan
seorang Ibu yang sedang memeluk gadis kecilnya dan berkata “Rein, tidak
apa-apa. Ini bukan salahmu” begitu katanya.
“Maaaahh” nafasnya tersenggal kemudian
ia tersadar. Butiran keringat bercampur deru nafas yang tersamar suara air
hujan membuat ruangan gelap itupun memberitahu bahwa hari sudah malam.“Ahh aku
ketiduran lagi disini”. Lalu ia mematikan TV yang sedari tadi menonton dirinya
tidur sebelum masuk ke kamarnya.
Reina merebahkan tubuhnya diantara
tumpukan baju, kertas, buku dan “Ahhhh kenapa kamarku berantakan sekali”
gerutunya. Dalam satu sapuan, benda-benda tadi sudah menyingkir dari tempat
tidurnya. Direbahkannya lagi tubuh si cantik itu. Saat ia menatap langit-langit
kamar yang sekilas terang terkena cahaya
kilat, melintas di ingatannya kejadian beberapa hari yang lalu.
“Rein, reina!” teriak Ega yang mencoba
menghentikan langkah kaki Rein. Padahal dalam hati kecilnya Rein berharap“Kenapa, kenapa kamu cuma berdiri disana,
Ega? Kejar aku dan jelaskan semuanya”. Ia menapaki jalanan di trotoar.
Mendadak kepalanya terasa sakit. Matanya juga. Namun yang paling sakit
sebenarnya adalah hati Rein. Ia kecewa. Terlihat jelas dimatanya ia ingin pergi
namun entah kemana, ingin mengadu namun entah pada siapa. Selama ini yang ia
tahu seseorang yang tak akan menghianatinya adalah Ega, sahabat kecilnya.
Sahabat kecil yang kini sama-sama dewasa, cukup dewasa untuk mengenal cinta
dalam ikatan persahabatan mereka. Namun pada hari itu juga Rein memutuskan
ikatan tersebut.
Saat hendak terlarut pada ingatan itu,
mata Rein samar-samar menatap kamar yang semakin kabur. Langit-langit kamar
juga mulai menghilang tertutup kedua kelopak matanya. Diapun terlelap.
“Ma, aku berangkat” sambil berlari
kecil menuju halte. Rumah Rein sebenarnya agak jauh dari sekolah dan dia bisa
saja memakai mobil sang kakak. Tapi dia terlalu malas untuk mengeluarkannya
dari garasi dan belum lagi mencari tempat untuk memarkirkannya. Ia lebih suka
menunggu bus, duduk dikursi paling belakang dan melanjutkan tidurnya selama
kurang lebih 20 menit kedepan. Oh iya, dia adalah mahasiswa jurusan Seni Musik
di Institut Keseniaan Jakarta.
“Selamat pagi kak” sapa salah seorang
juniornya. “Oh, pagi juga”tak terlalu menanggapi dan berusaha bergegas
melewatinya. “Kakak kenapa berangkat” “srutttt....” bunyi sepatu menggesek
lantai kemudian ia pun berbalik perlahan “Kakak lupa ya? Kan hari ini ada
kompetisi di Monas. Kok kakak malah kesini? Pernyataan singkat tapi menjelaskan
bahwa Rein benar-benar bodoh. “Aishhhh... Ehmm.. gua tau kok. Gu..gu .. a cuma
mau latihan di..di studio. Bye .... “kata-kata Rein terputus saat hendak mau
menyebut nama orang yang ada didepannya. “Enji kak” sambungnya menanggapi. “Bye
Enji” dengan singkat, padat, dan jelas Rein meninggalkan Enji yang terus
melihat Rein berjalan sambil memukul kepalanya dari belakang.
“Aaahh... membosankan” sambil
menendang-nendangkan kakinya ke lantai lorong kelas yang sepi. Itu hukuman
baginya karena melupakan acara IKJ di lapangan Monas hari ini. Begitu keras dia
berpikir dan“Yoshh, mendingan gue ke studio aja” dengan yakin bergegas ke
tempat yg ia tuju.
Rasanya sudah jarang sekali ia
berkunjung ke studio. Tempat itu pun perlahan menguak kenangan masa lalu.
Terakhir Rein kesana bersama Ega. Mereka memang sangat dekat sebelum Ega mulai
berubah. Dia selalu menghindar dari Rein. Gadis itu pun berpikir bahwa
setidaknya ia harus memberi Ega ruang untuk dirinya sendiri. Namun belakangan
Rein tahu bahwa alasan Ega seperti itu karena ia hendak pindah kuliah. Saat itu
dia sedang ada job di kafe. Tak
disangka ternyata disana Ega dengan teman-teman sekelasnya, kecuali Rein,
sedang mengadakan farewell party
untuk Ega. Rein yang melihat itu hanya bisa terdiam terlebih saat Ega menyadari
keberadaan Rein. Sebagai sahabat dekat sejak kecil, Rein merasa terhianati.
Tapi bukannya mengejar Rein, Ega hanya mematung disana. Samar-samar terdengar
Ega meneriakkan namanya. Namun apa gunanya Rein berbalik kesana, begitu pikir
Rein.
Yang menemani Rein melewati hari-hari
buruk itu hanyalah hujan. Hujanlah yang mempertemukan Rein dan Ega kecil saat
dia berbagi payung miliknya dengan Ega. Hujan juga membuktikan bahwa Ega selalu
ada untuk menemaninya saat ia terkena demam hebat diwaktu mereka masih SMA.
Saat itu orangtua Rein tengah pergi ke Palembang karena kakak Rein, mas Agung
menikah. Rein beralasan dirinya sedang ada ujian praktik yang membuatnya tidak
perlu ikut merayakan pesta pernikahan kakaknya. Namun karena terlalu
bersemangat ditinggal sendirian, pada hari itu ia pun asyik hujan-hujanan
dihalaman rumahnya. Ega yang sedang ada disana mengantar kepergian orangtua
Rein pun tidak bisa menghentikan kebahagiaan Rein. Alhasil pada malam harinya
ia terkena demam hebat. Ega, sang sahabat setia, pada malam itu seketika
menjelma menjadi seorang Ibu yang merawat Rein; Ayah yang selalu menjaganya;
Kakak yang tiada henti menebar perhatian dan Guru yang mengajarkannya “Makanya
jangan ujan-ujanan Rein. Air ujan itu bikin sakit. Lagian kamu itu udah terlalu
gede buat mainan hujan kayak gini” kicau Ega sambil membantu Rein meminum air
jahe anget buatannya. “Makasih” Rein tertunduk menyesali perbuatannya. “Heii,
sudah, sudah. Kamu itu kalau sedih mukanya jelek banget. ”sambil mengelus-elus
rambut Rein, berusaha untuk menenangkannya.
Kini jangankan mengingat kebersamaan
mereka dulu. Menyebut nama mantan sahabatnya itupun Rein tak sanggup. Ia
bukannya tak mau, tetapi ia tak bisa.
Lamunannya terhenti saat satu tangan
meraih pundaknya. "Huwaahhhh" saking kagetnya ia sampai melompat lalu
berbalik. "Ha haahahaaa... Telat banget sih kagetnya" gelak tawa
seseorang disana bernama Nurul. "Ihh reseh sih loe" gerutu Reina.
"Ya habis elo ngehalangin pintu. Tuh yang dibelakang mau masuk juga
tau" jelas teman seperjuangannya itu sambil menunjuk barisan siswa
dibelakangnya. "Whatt??" batin Reina terlonjak.
Tanpa pikir panjang, ia lalu masuk dan
dipimpin oleh Nurul di depannya. “Ehh, elo kok ada disini? tanya Reina. Elo ga
ikut acara di Monas? Tuturnya lagi”. “Hello non, kan kita udah janjian ga ikutan
ke Monas. Elo lupa ya. Duuhh Reina, Reina mabok apa gimana sih elo ini? jelas
Nurul sambil mengecek handphonenya. Dia
adalah Nurul, lengkapnya Nurul Fidayah. Meski namanya tergolong Islami namun
sifatnya benar-benar jauh dari ekspektasi. Hobi sering bolos jam kuliah demi
jalan sama pacar. Benar-benar teladan yang buruk.
Reina berpikir keras mengingat yang dikatakan
Nurul barusan. Pikirannya baru jernih setelah datang gerombolan cewek lainnya.
Mereka adalah Dena, Ici, Andri dan Dita, teman Reina.
“Nahh, itu Reina” ucapa Dena, si cabe
rawit keriting, kecil pedes yang high class. “Jadi, mau ngomongin apa nih?
Buruan yes gua laper 2 hari belom makan” protes Dita. “Yyee elo ini badan udah
kayak gentong gitu makan aja yang dipikirin” jawab Nurul membuat semua orang di
studio tertawa.
Pemandangan seperti ini sudah sering
terjadi sejak mereka bersahabat selama 3 tahun lamanya. Sifat dan kepribadian
yang berbeda-beda justru jadi kelebihan masing-masing saat perang bully terjadi.
“Jadi gini nih, kan kita sekitar 5
bulanan lagi wisuda, jadi gue kumpulin kalian disini buat bahas tentang liburan
kita sebelum wisuda. Yaaa.. masih rencana sih, itupun kalo kalian semua setuju”.
“Wahhh ide bagus tuh, setuju gue” timpah Andri si anak hits disusul dengan
lainnya. “Ehhh, jangan lupa kasih tau si Adel, jarang banget tuh anak ngampus sekarang”
imbuh Andri dilanjutkan latihan pada siang itu.
Disisi lain, Sari dan Tiwi, si kembar
yang selalu kepoin urusan orang lain juga ngga ketinggalan momen buat nguping
pembicaraan Reina dan kawan-kawan. “Iihh sok asik banget sih mereka” Tiwi
berkomentar. “Kita liat aja pasti tuh cewek-cewek pasti bentar lagi juga bakal
bubar” timpal si Sari dan menimbulkan pertanyaan bagi Tiwi “Kok bisa?” “Ada
deehhh...” lanjutnya sambil keluar dari studio.
Latihan mereka sudahi saat jam menunjuk
pukul 3 siang. Reina dan yang lainnya memutuskan pulang kerumah masing-masing. “Assalamu’alaikum,
Reina pulang” ucap Reina saat melepas sepatunya didepan pintu. Tak ada jawaban
dan dia tahu itu. Langsung saja dia lewati ruangan yang hening menuju kamarnya.
Segera dia hidupkan komputernya dan mencatat seluruh kegiatannya hari itu.
Kadang ia tertawa saat membaca lagi kejadian yang lucu atau indah yang ia alami
kemudian sekejap menjadi murung saat mengingat kembali peristiwa yang pedih
baginya. Dan itulah yang terjadi selama dua hingga empat hari kedepan.
Setiap satu minggu dalam setahun,
masing-masing jurusan di IKJ mengadakan acara tahunan selevel festival seni.
Mereka menunjukkan kemampuan para mahasiswa ditiap jurusan sekaligus menguji
hasil belajar mereka setahun belakangan. Sebagian ada yang tampil solo maupun
grup. Saat itu Reina tergabung bersama Ichi dan Dita dan beberapa teman yang
lain. Sedangkan Andri dan yang lain bergabung dengan haters mereka, Sari dan
Tiwi. Semua orang sangat antusias menyambut festival seni tersebut. Latihan
dari pagi buta hingga larut malam selama berminggu-minggu siap mereka hadapi. Banyak
hal yang terjadi disana. Ada yang bersemi cinta lokasi, tikung-menikung
pasangan, musuh jadi sahabat dan sahabat jadi semakin dekat.
2 minggu menjelang festival banyak
mahasiswa yang sudah mengadakan latihan. Sebagian lagi asyik merancang kostum
dan panggung. Halaman kampus begitu ramai orang berlalu lalang dengan berbagai
pekerjaannya. “Rein, Reina, kamu ada yang nyari tuh” kata salah satu panitia
acara sambil menunjuk kearah lain. Matanya mencari arah yang dimaksud dan
disanalah pandangannya bertemu dengan Ega. Ia lalu berhenti menatap dan
melanjutkan pekerjaannya. Perlahan beranjak dari tempatnya saat Ega mencoba
menghampiri dan menghadangnya dari depan. “Rein, kamu kenapa sih ngga mau
ngomong. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Kamu ngomong dong. Kalau gini kan aku
jadi serba salah” jelas Ega menghentikan Reina. “Maaf, saya tidak bicara dengan
orang asing. Permisi” spontan kalimatnya membuat Ega terpaku disana sambil
menatap perginya Reina.
Kejadian itu diketahui oleh Andri juga
Ici. Tapi daripada menasehati Reina, mereka lebih baik membiarkannya tenang terlebih
dulu. Memang seperti itulah persahabatan, kau tidak harus muncul dimana-mana,
asalkan kau selalu ada. Membiarkan yang lain sendiri dengan privasinya bukan
berarti kau tak peduli tapi hal itu yang disebut menghormati.
Belum habis rasa kesalnya, saat itu
juga handphonenya berdering tanda pesan masuk. Dari Pak Latif; Ketua
penyelenggara acara : “Diinfokan pada
Sdri. Reina Amanda, bahwa telah ada perubahan teknis pementasan untuk Anda
menjadi solo performance. Mohon agar dapat dimengerti. Terimakasih”.
Dia kesal bukan karena ia tak mau
tampil solo saat festival nanti, tapi sikap pihak panitia yang tidak
konsistenlah yang membuatnya putus asa. “Bapak kan tahu, kami semua udah
latihan hampir tiga minggu, masa baru sekarang dikasih info ada perubahan
perform. Ya ngga bisa gitu donk Pak! Selain formasi kami yang hancur, nilai
kami juga terancam Pak gegara persiapan yang kurang matang” protesnya diruang
panitia. Tapi dengan santainya sang lawan bicara hanya menjawab “Iya, saya
minta maaf karena ada kesalahan di panitia. Kami yakin kalau kamu pasti bisa
terima keputusan ini. Silahkan kamu boleh keluar” jawabnya meremehkan.
Reina dan kelompoknya merasa dirugikan.
Tapi keputusan panitia memang tidak bisa diganggu gugat. Nurul, Ici, Dita,
Andri dan Dena juga memberi support agar dia bisa bertahan sedikit lebih lama.
Tapi itu tidak benar-benar membantu. Dan hal yang lebih mengejutkannya adalah
Tiwi. Kabarnya ia menjadikan kejadian tersebut sebagai bagian dari
pertunjukannya. “Gua salut sama elo Rein, gua selama ini cuma tau kalo elo cewe
yang sok asik dan jaim, tapi ternyata gua salah. Gua iri sama mereka yang punya
temen kayak elo” puji Tiwi. “Thanks Wi. Gue berteman sama siapa aja kok, asal
mereka yang mau support gue kapanpun gue butuh” balas Reina.
Singkatnya, Tiwi dan Reina menjadi
sahabat dan bertambahlah anggota cewek-cewek “sok-asik” itu. Cukup masalah Ega, kuliah dan keluarga yang
membuatnya menderita, jangan ada yang lain.
Dua hari setelah kejadian itu, dia
terkapar dikamarnya. Yang sanggup ia lakukan hanyalah menatap ratusan
pemberitahuan dan ucapan “Semoga lekas sembuh” dari teman-teman terdekatnya.
Dia juga terpaksa izin beberapa hari sebelum festival untuk benar-benar sembuh
total dari demamnya.
“Rein, Mama sama Papa mau jenguk
pakdemu yang di Palembang sekaligus silaturahmi kesana, adek juga ikut. Kamu
ngga apa-apa kan kalau ditinggal?” tanya Ibunya. “Iya ngga apa-apa. Hati-hati
dijalan” balas Reina singkat. Ia bukannya tak mau bilang apa-apa pada ibunya,
hanya saja ia tahu bahwa percuma saja memintanya untuk menjaga Reina yang
sedang sekarat sekarang. Pernah sekali ia meminta diantarkan ke klinik namun
respon ibunya hanya “Udahh.. beli obat diwarung aja, nanti juga sembuh. Kamu itu
udah gede, jangan manja deh”.
Sudah sejak lama keluarga Reina
bersikap dingin terhadapnya. Lebih tepatnya setelah dia mengalami kecelakaan
menggunakan mobil ayahnya. Memang tidak ada korban jiwa, namun kerusakan mobil
itulah penyebabnya. Mobil itu terbakar hingga tak berbekas. Untungnya tubuh
Rein hanya terluka dibagian dahi, siku walau kakinya sempat patah. Namun, guncangan
batin yang dirasakan Rein saat itu tidak ia hiraukan terlebih saat ia
memikirkan keluarganya.
Keesokan harinya, pintu rumahnya ada
yang mengetuk. Setidaknya ia sudah tahu siapa yang akan berkunjung, pastilah
itu teman-temannya. “Walaikumsalam” jawab Rein menuju pintu. Matanya berhenti
tepat diwajah lawan bicaranya. “Ega?”. “Hhmm, kata Ici kamu sakit? Sekarang
gimana? Udah baikan?” Ega tersenyum terasa seperti sahabatnya yang dulu. “Boleh
aku masuk?” tambahnya. “Masuk aja” jawabku datar. “Nihh aku bawain bunga sama
buah. Abis kamu keliatan kurus banget sekarang. Kamu udah makan, Rein? Om sama
tante kemana, kok sepi?” celoteh Ega. Rein diam dan hanya menatapnya tanpa
berkedip sedetikpun. Akibatnya matanya mulai berkaca-kaca dan airmatanya pun
jatuh. “Heyy, kok kamu malah nangis? Aku kesini mau lihat kamu supaya sehat,
bukan sedih” lalu ditariklah pundak Rein. “Reina yang akau kenal ngga selemah ini
kan?
Langsung saja Rein menyeka air matanya
dan duduk menjauhi Ega. “Jangan bicara seolah kamu kenal aku Ga” jawab Rein
sambil berpaling. “Apa salah aku Rein? Apa kesalahanku emang sebesar itu sampe
kamu ga mau maafin aku? Jawab Rein? tanya Ega frustrasi. Kemudian Rein berbalik
dan menatapnya dalam-dalam “Kesalahanmu adalah karena kamu sahabat baikku Ega.
Maaf? Kalau hanya maaf yang kamu cari berarti aku sudah memaafkanmu. Hanya saja
caraku memaafkan adalah dengan melupakanmu, Ga”. Aku ngomong kayak gini bukan
karena aku benci. Tapi aku sadar kamu bukan Ega yang dulu lagi. Aku ikhlas
kalau kamu mau pergi” jawab Reina seraya berdiri membelakangi Ega. Suasana yang
tadinya sepi kini berganti gemuruh hujan. “Baik Rein, aku ngerti sekarang. Sekarang
aku lega kamu ngomong gitu. Jaga diri kamu baik-baik ya. Aku pamit. Semoga show
kamu lancar”.
Rein kini benar-benar kehilangan
sahabatnya itu atau lebih tepatnya ia melepasnya pergi. Sejak hari itu Rein
merasa tidak perlu memikirkan apapun kecuali shownya. Dia sudah masa bodoh
dengan masalah yang ada. Yang terpenting ialah bagaimana caranya agar hal-hal
seperti itu tidak terulang lagi.
Tiga hari menjelang pertunjukan
solonya, Tiwi datang dengan murung. Reina yang memang sudah beberapa hari tidak
berangkat memang tidak tahu apa-apa mengenai itu. “Haduhh Rein, gimana nih aku
bingung” ucap Tiwi cemas. “Ada apa emang? Kamu grogi tampil besok?” sambil
tetap mengecek perlengkapannya. “Bukan Rein. Masalahnya ini soal Dena”
imbuhnya. “Dena? Dia baik-baik aja kok tadi kami ketemu” jelas Reina. “Nahh,
itu aku bingungnya. Dia sama kamu juga yang lainnya biasa-biasa aja. Tapi sama
aku juga Dita kok beda. Udah 2 hari ini dia diemin kami Rein” curhatnya panjang
lebar. “Mmm..mungkin dia kebetulan ngga ada yang mau diomongin sama kalian
makanya diem aja. Kalo ngga biarin dia sendiri dulu, lagian dia kan juga lagi
sibuk ngurusi perform besok. Nanti kalau udah santai kita tanya langsung.
Tenang aja, dia baik-baik aja kok” jelas Rein menenangkan Tiwi yang memang
belum lama berteman dengan Dena.
Siang harinya, Reina curhat masalah itu
ke Andri juga Nurul. Pertanyaannya pun sama “Dena kenapa? Apa lagi ada masalah?”
Tapi tetep aja ngga ada yang tahu. “Mending kita tanyain ke dia besok. Soalnya
hari ini dia sibuk banget. Takutnya nanti malah ganggu” ucap Andri menyarankan
kami semua.
Tapi belum sampai hari yang ditunggu
tiba, pada sore harinya Dena tiba-tiba menghampiriku dan bilang “Rein, aku
baik-baik aja kok. Aku ngga masalah kok ngurusin ini-itu buat show. Jadi kamu
kalau ada apa-apa langsung ngomong aja ke aku. Jangan ngomong di belakang.
Beneran kok aku ngga apa-apa” kalimatnya barusan membuat Reina terdiam untuk
waktu yang lama. Sambil mencerna “Apa
maksud kamu ngomong barusan”. Tapi belum sempat dia dapat jawaban, Dena
sudah pergi duluan. Dan ternyata bukan hanya Reina seorang, tapi yang lain juga
mendengar hal yang sama darinya.
Menuju hari H, festival IKJ tanpa
sahabat kini benar-benar memuakkan. Itiqad baik sudah kami semua coba, tapi
bahkan untuk tahu kesalahan kamipun kami tak sempat. Reina yang selama ini
hidupnya dipenuhi beban masalah memutuskan merubah lagu solonya sepihak. Banyak
pihak menyayangkan tindakannya, tapi tak apa asal Reina merasa dirinya mampu
dan tulus membawakannya.
Sebuah penampilan akustik berlirik :
Take what you want, take what you want
and go
Just go now, just go, go, go
Still remember the time when you felt
like home
You and me up against the Great unknown
You are my life, now you’re out of my
life
Yeah, I guess that’s life
Can you hear me? I’m trying to hear you
Silence strikes like a hurricane
I’m singing for you, you’re screaming
at me
It’s hard to see your tears in the
pouring
Can you hear me..
Sambil berkaca-kaca ia bawakan lagu itu
untuk orang-orang yang mengambil kebahagiannya, yang dulu ia anggap sebagai rumah,
berjuang bersama-sama, namun kini berubah, tanpa sepatah kata..
Dia harap sahabat baiknya, Dena, tahu
apa yang ia maksud dan tahu bahwa mereka tetaplah sahabatnya yang dulu,
sekalipun dia bilang bahwa “mungkin kita tidak bisa seperti yang dulu lagi”
tapi mereka tetap orang yang sama, yang mungkin tidak bisa ada dimana-mana,
namun akan tetap selalu ada.
Trivia
:
GOLDEN20 ialah cerita seorang remaja
yang hari ini telah melewati usia ke20nya. Usia peralihan dimana siap-tidak
siap, mau-tidak mau, kamu pasti mengalaminya. Ditulis berdasarkan kisah nyata
dengan banyak harapan disana, yaitu harapan bahwa walaupun kini semua orang
berbicara arti menjadi ‘dewasa’, tapi semoga persahabatan kami tidak akan
pernah menua. Tetap muda, seperti bunga, layu-disiran-segar kembali,
kering-dipupuk-subur kembali, bahkan mati-ambil benihnya-tanam kembali.
No comments:
Post a Comment