Thursday, 22 June 2017

Cerpen Persahabatan - GOLDEN20


GOLDEN 20



Hujan. Suaranya, dinginnya, segala hal tentang hujan, serta kenangan pahit yang dibawa seiring jatuhnya ia ke muka bumi;  kau takkan percaya bahwa ada yang menganggap hujan itu sebagai teman. Bagi Reina, hujan sudah seperti bagian dari dirinya. Walaupun dia berada jauh dan menetap dilangit, namun saat air mata tumpah dipipi, dia selalu ada untuknya. Dia adalah pelindung dari tatapan orang lain dan membuatnya tetap tegak. Saat hujan turun, dia juga berbisik bagaikan seorang Ibu yang sedang memeluk gadis kecilnya dan berkata “Rein, tidak apa-apa. Ini bukan salahmu” begitu katanya.

“Maaaahh” nafasnya tersenggal kemudian ia tersadar. Butiran keringat bercampur deru nafas yang tersamar suara air hujan membuat ruangan gelap itupun memberitahu bahwa hari sudah malam.“Ahh aku ketiduran lagi disini”. Lalu ia mematikan TV yang sedari tadi menonton dirinya tidur sebelum masuk ke kamarnya.

Reina merebahkan tubuhnya diantara tumpukan baju, kertas, buku dan “Ahhhh kenapa kamarku berantakan sekali” gerutunya. Dalam satu sapuan, benda-benda tadi sudah menyingkir dari tempat tidurnya. Direbahkannya lagi tubuh si cantik itu. Saat ia menatap langit-langit kamar yang sekilas terang  terkena cahaya kilat, melintas di ingatannya kejadian beberapa hari yang lalu.

“Rein, reina!” teriak Ega yang mencoba menghentikan langkah kaki Rein. Padahal dalam hati kecilnya Rein berharap“Kenapa, kenapa kamu cuma berdiri disana, Ega? Kejar aku dan jelaskan semuanya”. Ia menapaki jalanan di trotoar. Mendadak kepalanya terasa sakit. Matanya juga. Namun yang paling sakit sebenarnya adalah hati Rein. Ia kecewa. Terlihat jelas dimatanya ia ingin pergi namun entah kemana, ingin mengadu namun entah pada siapa. Selama ini yang ia tahu seseorang yang tak akan menghianatinya adalah Ega, sahabat kecilnya. Sahabat kecil yang kini sama-sama dewasa, cukup dewasa untuk mengenal cinta dalam ikatan persahabatan mereka. Namun pada hari itu juga Rein memutuskan ikatan tersebut.
Saat hendak terlarut pada ingatan itu, mata Rein samar-samar menatap kamar yang semakin kabur. Langit-langit kamar juga mulai menghilang tertutup kedua kelopak matanya. Diapun terlelap.

“Ma, aku berangkat” sambil berlari kecil menuju halte. Rumah Rein sebenarnya agak jauh dari sekolah dan dia bisa saja memakai mobil sang kakak. Tapi dia terlalu malas untuk mengeluarkannya dari garasi dan belum lagi mencari tempat untuk memarkirkannya. Ia lebih suka menunggu bus, duduk dikursi paling belakang dan melanjutkan tidurnya selama kurang lebih 20 menit kedepan. Oh iya, dia adalah mahasiswa jurusan Seni Musik di Institut Keseniaan Jakarta.

“Selamat pagi kak” sapa salah seorang juniornya. “Oh, pagi juga”tak terlalu menanggapi dan berusaha bergegas melewatinya. “Kakak kenapa berangkat” “srutttt....” bunyi sepatu menggesek lantai kemudian ia pun berbalik perlahan “Kakak lupa ya? Kan hari ini ada kompetisi di Monas. Kok kakak malah kesini? Pernyataan singkat tapi menjelaskan bahwa Rein benar-benar bodoh. “Aishhhh... Ehmm.. gua tau kok. Gu..gu .. a cuma mau latihan di..di studio. Bye .... “kata-kata Rein terputus saat hendak mau menyebut nama orang yang ada didepannya. “Enji kak” sambungnya menanggapi. “Bye Enji” dengan singkat, padat, dan jelas Rein meninggalkan Enji yang terus melihat Rein berjalan sambil memukul kepalanya dari belakang.

“Aaahh... membosankan” sambil menendang-nendangkan kakinya ke lantai lorong kelas yang sepi. Itu hukuman baginya karena melupakan acara IKJ di lapangan Monas hari ini. Begitu keras dia berpikir dan“Yoshh, mendingan gue ke studio aja” dengan yakin bergegas ke tempat yg ia tuju.

Rasanya sudah jarang sekali ia berkunjung ke studio. Tempat itu pun perlahan menguak kenangan masa lalu. Terakhir Rein kesana bersama Ega. Mereka memang sangat dekat sebelum Ega mulai berubah. Dia selalu menghindar dari Rein. Gadis itu pun berpikir bahwa setidaknya ia harus memberi Ega ruang untuk dirinya sendiri. Namun belakangan Rein tahu bahwa alasan Ega seperti itu karena ia hendak pindah kuliah. Saat itu dia sedang ada job di kafe. Tak disangka ternyata disana Ega dengan teman-teman sekelasnya, kecuali Rein, sedang mengadakan farewell party untuk Ega. Rein yang melihat itu hanya bisa terdiam terlebih saat Ega menyadari keberadaan Rein. Sebagai sahabat dekat sejak kecil, Rein merasa terhianati. Tapi bukannya mengejar Rein, Ega hanya mematung disana. Samar-samar terdengar Ega meneriakkan namanya. Namun apa gunanya Rein berbalik kesana, begitu pikir Rein.

Yang menemani Rein melewati hari-hari buruk itu hanyalah hujan. Hujanlah yang mempertemukan Rein dan Ega kecil saat dia berbagi payung miliknya dengan Ega. Hujan juga membuktikan bahwa Ega selalu ada untuk menemaninya saat ia terkena demam hebat diwaktu mereka masih SMA. Saat itu orangtua Rein tengah pergi ke Palembang karena kakak Rein, mas Agung menikah. Rein beralasan dirinya sedang ada ujian praktik yang membuatnya tidak perlu ikut merayakan pesta pernikahan kakaknya. Namun karena terlalu bersemangat ditinggal sendirian, pada hari itu ia pun asyik hujan-hujanan dihalaman rumahnya. Ega yang sedang ada disana mengantar kepergian orangtua Rein pun tidak bisa menghentikan kebahagiaan Rein. Alhasil pada malam harinya ia terkena demam hebat. Ega, sang sahabat setia, pada malam itu seketika menjelma menjadi seorang Ibu yang merawat Rein; Ayah yang selalu menjaganya; Kakak yang tiada henti menebar perhatian dan Guru yang mengajarkannya “Makanya jangan ujan-ujanan Rein. Air ujan itu bikin sakit. Lagian kamu itu udah terlalu gede buat mainan hujan kayak gini” kicau Ega sambil membantu Rein meminum air jahe anget buatannya. “Makasih” Rein tertunduk menyesali perbuatannya. “Heii, sudah, sudah. Kamu itu kalau sedih mukanya jelek banget. ”sambil mengelus-elus rambut Rein, berusaha untuk menenangkannya.

Kini jangankan mengingat kebersamaan mereka dulu. Menyebut nama mantan sahabatnya itupun Rein tak sanggup. Ia bukannya tak mau, tetapi ia tak bisa.
Lamunannya terhenti saat satu tangan meraih pundaknya. "Huwaahhhh" saking kagetnya ia sampai melompat lalu berbalik. "Ha haahahaaa... Telat banget sih kagetnya" gelak tawa seseorang disana bernama Nurul. "Ihh reseh sih loe" gerutu Reina. "Ya habis elo ngehalangin pintu. Tuh yang dibelakang mau masuk juga tau" jelas teman seperjuangannya itu sambil menunjuk barisan siswa dibelakangnya. "Whatt??" batin Reina terlonjak.

Tanpa pikir panjang, ia lalu masuk dan dipimpin oleh Nurul di depannya. “Ehh, elo kok ada disini? tanya Reina. Elo ga ikut acara di Monas? Tuturnya lagi”. “Hello non, kan kita udah janjian ga ikutan ke Monas. Elo lupa ya. Duuhh Reina, Reina mabok apa gimana sih elo ini? jelas Nurul sambil mengecek handphonenya. Dia adalah Nurul, lengkapnya Nurul Fidayah. Meski namanya tergolong Islami namun sifatnya benar-benar jauh dari ekspektasi. Hobi sering bolos jam kuliah demi jalan sama pacar. Benar-benar teladan yang buruk.

Reina berpikir keras mengingat yang dikatakan Nurul barusan. Pikirannya baru jernih setelah datang gerombolan cewek lainnya. Mereka adalah Dena, Ici, Andri dan Dita, teman Reina.

“Nahh, itu Reina” ucapa Dena, si cabe rawit keriting, kecil pedes yang high class. “Jadi, mau ngomongin apa nih? Buruan yes gua laper 2 hari belom makan” protes Dita. “Yyee elo ini badan udah kayak gentong gitu makan aja yang dipikirin” jawab Nurul membuat semua orang di studio tertawa.

Pemandangan seperti ini sudah sering terjadi sejak mereka bersahabat selama 3 tahun lamanya. Sifat dan kepribadian yang berbeda-beda justru jadi kelebihan masing-masing saat perang bully terjadi.

“Jadi gini nih, kan kita sekitar 5 bulanan lagi wisuda, jadi gue kumpulin kalian disini buat bahas tentang liburan kita sebelum wisuda. Yaaa.. masih rencana sih, itupun kalo kalian semua setuju”. “Wahhh ide bagus tuh, setuju gue” timpah Andri si anak hits disusul dengan lainnya. “Ehhh, jangan lupa kasih tau si Adel, jarang banget tuh anak ngampus sekarang” imbuh Andri dilanjutkan latihan pada siang itu.

Disisi lain, Sari dan Tiwi, si kembar yang selalu kepoin urusan orang lain juga ngga ketinggalan momen buat nguping pembicaraan Reina dan kawan-kawan. “Iihh sok asik banget sih mereka” Tiwi berkomentar. “Kita liat aja pasti tuh cewek-cewek pasti bentar lagi juga bakal bubar” timpal si Sari dan menimbulkan pertanyaan bagi Tiwi “Kok bisa?” “Ada deehhh...” lanjutnya sambil keluar dari studio.

Latihan mereka sudahi saat jam menunjuk pukul 3 siang. Reina dan yang lainnya memutuskan pulang kerumah masing-masing. “Assalamu’alaikum, Reina pulang” ucap Reina saat melepas sepatunya didepan pintu. Tak ada jawaban dan dia tahu itu. Langsung saja dia lewati ruangan yang hening menuju kamarnya. Segera dia hidupkan komputernya dan mencatat seluruh kegiatannya hari itu. Kadang ia tertawa saat membaca lagi kejadian yang lucu atau indah yang ia alami kemudian sekejap menjadi murung saat mengingat kembali peristiwa yang pedih baginya. Dan itulah yang terjadi selama dua hingga empat hari kedepan.

Setiap satu minggu dalam setahun, masing-masing jurusan di IKJ mengadakan acara tahunan selevel festival seni. Mereka menunjukkan kemampuan para mahasiswa ditiap jurusan sekaligus menguji hasil belajar mereka setahun belakangan. Sebagian ada yang tampil solo maupun grup. Saat itu Reina tergabung bersama Ichi dan Dita dan beberapa teman yang lain. Sedangkan Andri dan yang lain bergabung dengan haters mereka, Sari dan Tiwi. Semua orang sangat antusias menyambut festival seni tersebut. Latihan dari pagi buta hingga larut malam selama berminggu-minggu siap mereka hadapi. Banyak hal yang terjadi disana. Ada yang bersemi cinta lokasi, tikung-menikung pasangan, musuh jadi sahabat dan sahabat jadi semakin dekat.

2 minggu menjelang festival banyak mahasiswa yang sudah mengadakan latihan. Sebagian lagi asyik merancang kostum dan panggung. Halaman kampus begitu ramai orang berlalu lalang dengan berbagai pekerjaannya. “Rein, Reina, kamu ada yang nyari tuh” kata salah satu panitia acara sambil menunjuk kearah lain. Matanya mencari arah yang dimaksud dan disanalah pandangannya bertemu dengan Ega. Ia lalu berhenti menatap dan melanjutkan pekerjaannya. Perlahan beranjak dari tempatnya saat Ega mencoba menghampiri dan menghadangnya dari depan. “Rein, kamu kenapa sih ngga mau ngomong. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Kamu ngomong dong. Kalau gini kan aku jadi serba salah” jelas Ega menghentikan Reina. “Maaf, saya tidak bicara dengan orang asing. Permisi” spontan kalimatnya membuat Ega terpaku disana sambil menatap perginya Reina.

Kejadian itu diketahui oleh Andri juga Ici. Tapi daripada menasehati Reina, mereka lebih baik membiarkannya tenang terlebih dulu. Memang seperti itulah persahabatan, kau tidak harus muncul dimana-mana, asalkan kau selalu ada. Membiarkan yang lain sendiri dengan privasinya bukan berarti kau tak peduli tapi hal itu yang disebut menghormati.

Belum habis rasa kesalnya, saat itu juga handphonenya berdering tanda pesan masuk. Dari Pak Latif; Ketua penyelenggara acara : “Diinfokan pada Sdri. Reina Amanda, bahwa telah ada perubahan teknis pementasan untuk Anda menjadi solo performance. Mohon agar dapat dimengerti. Terimakasih”.

Dia kesal bukan karena ia tak mau tampil solo saat festival nanti, tapi sikap pihak panitia yang tidak konsistenlah yang membuatnya putus asa. “Bapak kan tahu, kami semua udah latihan hampir tiga minggu, masa baru sekarang dikasih info ada perubahan perform. Ya ngga bisa gitu donk Pak! Selain formasi kami yang hancur, nilai kami juga terancam Pak gegara persiapan yang kurang matang” protesnya diruang panitia. Tapi dengan santainya sang lawan bicara hanya menjawab “Iya, saya minta maaf karena ada kesalahan di panitia. Kami yakin kalau kamu pasti bisa terima keputusan ini. Silahkan kamu boleh keluar” jawabnya meremehkan.

Reina dan kelompoknya merasa dirugikan. Tapi keputusan panitia memang tidak bisa diganggu gugat. Nurul, Ici, Dita, Andri dan Dena juga memberi support agar dia bisa bertahan sedikit lebih lama. Tapi itu tidak benar-benar membantu. Dan hal yang lebih mengejutkannya adalah Tiwi. Kabarnya ia menjadikan kejadian tersebut sebagai bagian dari pertunjukannya. “Gua salut sama elo Rein, gua selama ini cuma tau kalo elo cewe yang sok asik dan jaim, tapi ternyata gua salah. Gua iri sama mereka yang punya temen kayak elo” puji Tiwi. “Thanks Wi. Gue berteman sama siapa aja kok, asal mereka yang mau support gue kapanpun gue butuh” balas Reina.

Singkatnya, Tiwi dan Reina menjadi sahabat dan bertambahlah anggota cewek-cewek “sok-asik” itu.  Cukup masalah Ega, kuliah dan keluarga yang membuatnya menderita, jangan ada yang lain.

Dua hari setelah kejadian itu, dia terkapar dikamarnya. Yang sanggup ia lakukan hanyalah menatap ratusan pemberitahuan dan ucapan “Semoga lekas sembuh” dari teman-teman terdekatnya. Dia juga terpaksa izin beberapa hari sebelum festival untuk benar-benar sembuh total dari demamnya.

“Rein, Mama sama Papa mau jenguk pakdemu yang di Palembang sekaligus silaturahmi kesana, adek juga ikut. Kamu ngga apa-apa kan kalau ditinggal?” tanya Ibunya. “Iya ngga apa-apa. Hati-hati dijalan” balas Reina singkat. Ia bukannya tak mau bilang apa-apa pada ibunya, hanya saja ia tahu bahwa percuma saja memintanya untuk menjaga Reina yang sedang sekarat sekarang. Pernah sekali ia meminta diantarkan ke klinik namun respon ibunya hanya “Udahh.. beli obat diwarung aja, nanti juga sembuh. Kamu itu udah gede, jangan manja deh”.

Sudah sejak lama keluarga Reina bersikap dingin terhadapnya. Lebih tepatnya setelah dia mengalami kecelakaan menggunakan mobil ayahnya. Memang tidak ada korban jiwa, namun kerusakan mobil itulah penyebabnya. Mobil itu terbakar hingga tak berbekas. Untungnya tubuh Rein hanya terluka dibagian dahi, siku walau kakinya sempat patah. Namun, guncangan batin yang dirasakan Rein saat itu tidak ia hiraukan terlebih saat ia memikirkan keluarganya.

Keesokan harinya, pintu rumahnya ada yang mengetuk. Setidaknya ia sudah tahu siapa yang akan berkunjung, pastilah itu teman-temannya. “Walaikumsalam” jawab Rein menuju pintu. Matanya berhenti tepat diwajah lawan bicaranya. “Ega?”. “Hhmm, kata Ici kamu sakit? Sekarang gimana? Udah baikan?” Ega tersenyum terasa seperti sahabatnya yang dulu. “Boleh aku masuk?” tambahnya. “Masuk aja” jawabku datar. “Nihh aku bawain bunga sama buah. Abis kamu keliatan kurus banget sekarang. Kamu udah makan, Rein? Om sama tante kemana, kok sepi?” celoteh Ega. Rein diam dan hanya menatapnya tanpa berkedip sedetikpun. Akibatnya matanya mulai berkaca-kaca dan airmatanya pun jatuh. “Heyy, kok kamu malah nangis? Aku kesini mau lihat kamu supaya sehat, bukan sedih” lalu ditariklah pundak Rein. “Reina yang akau kenal ngga selemah ini kan?

Langsung saja Rein menyeka air matanya dan duduk menjauhi Ega. “Jangan bicara seolah kamu kenal aku Ga” jawab Rein sambil berpaling. “Apa salah aku Rein? Apa kesalahanku emang sebesar itu sampe kamu ga mau maafin aku? Jawab Rein? tanya Ega frustrasi. Kemudian Rein berbalik dan menatapnya dalam-dalam “Kesalahanmu adalah karena kamu sahabat baikku Ega. Maaf? Kalau hanya maaf yang kamu cari berarti aku sudah memaafkanmu. Hanya saja caraku memaafkan adalah dengan melupakanmu, Ga”. Aku ngomong kayak gini bukan karena aku benci. Tapi aku sadar kamu bukan Ega yang dulu lagi. Aku ikhlas kalau kamu mau pergi” jawab Reina seraya berdiri membelakangi Ega. Suasana yang tadinya sepi kini berganti gemuruh hujan. “Baik Rein, aku ngerti sekarang. Sekarang aku lega kamu ngomong gitu. Jaga diri kamu baik-baik ya. Aku pamit. Semoga show kamu lancar”.

Rein kini benar-benar kehilangan sahabatnya itu atau lebih tepatnya ia melepasnya pergi. Sejak hari itu Rein merasa tidak perlu memikirkan apapun kecuali shownya. Dia sudah masa bodoh dengan masalah yang ada. Yang terpenting ialah bagaimana caranya agar hal-hal seperti itu tidak terulang lagi.

Tiga hari menjelang pertunjukan solonya, Tiwi datang dengan murung. Reina yang memang sudah beberapa hari tidak berangkat memang tidak tahu apa-apa mengenai itu. “Haduhh Rein, gimana nih aku bingung” ucap Tiwi cemas. “Ada apa emang? Kamu grogi tampil besok?” sambil tetap mengecek perlengkapannya. “Bukan Rein. Masalahnya ini soal Dena” imbuhnya. “Dena? Dia baik-baik aja kok tadi kami ketemu” jelas Reina. “Nahh, itu aku bingungnya. Dia sama kamu juga yang lainnya biasa-biasa aja. Tapi sama aku juga Dita kok beda. Udah 2 hari ini dia diemin kami Rein” curhatnya panjang lebar. “Mmm..mungkin dia kebetulan ngga ada yang mau diomongin sama kalian makanya diem aja. Kalo ngga biarin dia sendiri dulu, lagian dia kan juga lagi sibuk ngurusi perform besok. Nanti kalau udah santai kita tanya langsung. Tenang aja, dia baik-baik aja kok” jelas Rein menenangkan Tiwi yang memang belum lama berteman dengan Dena.

Siang harinya, Reina curhat masalah itu ke Andri juga Nurul. Pertanyaannya pun sama “Dena kenapa? Apa lagi ada masalah?” Tapi tetep aja ngga ada yang tahu. “Mending kita tanyain ke dia besok. Soalnya hari ini dia sibuk banget. Takutnya nanti malah ganggu” ucap Andri menyarankan kami semua.

Tapi belum sampai hari yang ditunggu tiba, pada sore harinya Dena tiba-tiba menghampiriku dan bilang “Rein, aku baik-baik aja kok. Aku ngga masalah kok ngurusin ini-itu buat show. Jadi kamu kalau ada apa-apa langsung ngomong aja ke aku. Jangan ngomong di belakang. Beneran kok aku ngga apa-apa” kalimatnya barusan membuat Reina terdiam untuk waktu yang lama. Sambil mencerna “Apa maksud kamu ngomong barusan”. Tapi belum sempat dia dapat jawaban, Dena sudah pergi duluan. Dan ternyata bukan hanya Reina seorang, tapi yang lain juga mendengar hal yang sama darinya.

Menuju hari H, festival IKJ tanpa sahabat kini benar-benar memuakkan. Itiqad baik sudah kami semua coba, tapi bahkan untuk tahu kesalahan kamipun kami tak sempat. Reina yang selama ini hidupnya dipenuhi beban masalah memutuskan merubah lagu solonya sepihak. Banyak pihak menyayangkan tindakannya, tapi tak apa asal Reina merasa dirinya mampu dan tulus membawakannya.


Sebuah penampilan akustik berlirik :
Take what you want, take what you want and go
Just go now, just go, go, go
Still remember the time when you felt like home
You and me up against the Great unknown
You are my life, now you’re out of my life
Yeah, I guess that’s life
Can you hear me? I’m trying to hear you
Silence strikes like a hurricane
I’m singing for you, you’re screaming at me
It’s hard to see your tears in the pouring

Can you hear me..

Sambil berkaca-kaca ia bawakan lagu itu untuk orang-orang yang mengambil kebahagiannya, yang dulu ia anggap sebagai rumah, berjuang bersama-sama, namun kini berubah, tanpa sepatah kata..

Dia harap sahabat baiknya, Dena, tahu apa yang ia maksud dan tahu bahwa mereka tetaplah sahabatnya yang dulu, sekalipun dia bilang bahwa “mungkin kita tidak bisa seperti yang dulu lagi” tapi mereka tetap orang yang sama, yang mungkin tidak bisa ada dimana-mana, namun akan tetap selalu ada.







Trivia :

GOLDEN20 ialah cerita seorang remaja yang hari ini telah melewati usia ke20nya. Usia peralihan dimana siap-tidak siap, mau-tidak mau, kamu pasti mengalaminya. Ditulis berdasarkan kisah nyata dengan banyak harapan disana, yaitu harapan bahwa walaupun kini semua orang berbicara arti menjadi ‘dewasa’, tapi semoga persahabatan kami tidak akan pernah menua. Tetap muda, seperti bunga, layu-disiran-segar kembali, kering-dipupuk-subur kembali, bahkan mati-ambil benihnya-tanam kembali.

No comments:

Post a Comment