HINGGA AKHIR WAKTU
2016
Aku pernah teringat. Saat aku masih bisa bersyukur melihat matahari yang bersinar terang, pelangi warna-warni yang menyiratkan banyak makna, serta sapuan dua baris bulu yang meniupkan kesejukan bagai embun di pagi hari. Melalui mata seseorang semua keindahan itu terasa bernyawa. Bukan mata yang mewakili kata; huruf dan kalimat, bukna juga yang menyiratkan kata hati. Belum pernah kudapati sebelumnya, dua bongkah bulatan kecil itu begitu polosnya menatap tepat didepanku. Tulang pipi yang tajam namun melembut dibagian dagu. Sepasang alis yang kokoh menghias dahi dengan tatanan rambut spike zaman 90an. Baju bekas pakai yang dulu pernah menjadi kesayangan orang lain tak luput membalut tubuh kurusnya. Sedikit lipatan dibagian lengan, wewangian, serta baju yang rajin disetrika itu tak akan membuat orang-orang disekitarnya berpikir jika itu adalah barang loak.
2015
Hari itu dia mampir ke tempat kerjaku untuk mencopy beberapa dokumen yang kemudian dimasukkan ke map plastik yang ku tahu itu dari acara seminar yang pernah kami datangi bersama. Ku pandangi terus map berwarna kuning itu hingga teringat masa-masa yang kami lalui dalam segala keterbatasan. Senyum seringai kemudian tergambar jelas dibibirku.
“Ini habis berapa des? Ohh, emmm.. Ini.., ini delapan, enam ribu aja deh”. “Loh kok gitu?” “Edisi pagi, korting..hehe..” ‘Yahh ada-ada aja kamu, ya udah makasih ya, aku jalan dulu, doain aku berhasil oke?’ “Iya, jangan lupa traktirannya” kemudian dianggukan kepalanya sambil berlalu kencang dengan mobil sedannya.
2013
Namaku desta, gayaku memang keren, potongan rambut bob harajuku, sepatu snicker branded ternama serta fashionku yang oke punya diantara teman-teman setetanggaku. Eitsss,,, tunggu dulu, jangan sampai kalian kira aku cowok ya. Lengkapnya namaku itu Desta Maharani. Ini gayaku waktu masih di SMA, super kece. Saat ini aku duduk dibangku kelas dua belas. Hobiku bikin geng gaul yang isinya anak-anak hits satu sekolah. Keseharian kami bolak-balik ruangan BK. Tapi bukan dengerin ocehan guru karna dihukum, melainkan kami merupakan divisi sosialisasi kerjasama denga guru BK tapi dengan cara gaul kami. Makanya selain gaul, kece dan ngehits, kami juga jadi pelopor anak muda masa kini favorit para guru.
Cowok yang tadi namanya Fahri. Kami dulu satu kelas pas SMA. Fahri juga punya geng dan ngehits, tapi aliran dia sama cowo. Dia gak pernah mau ikut nimbrung sama cewe. Kata dia sih dia itu anti cewek, anti pacaran, takut dosa, zina dan lain sebagainya. Anaknya sih keren tapi dia terlalu polos, walau pada kenyataannya, gue sempet gak percaya kalo dia suka coli. Gue sih ga terlalu deket ama dia, orangnya jutek tingkat dewa, kegedean gengsi. Pernah sekali gue bilang ‘good morning’,, eh dia malah pergi gitu aja. Dia mah gitu orangnya padahal banyak temen cewek sekelas yang suka sama dia, tapi dia sih cuek aja.
Pertemanan kami ga sengaja dimulai kala ada gosip kalo Fahri itu homo. Berminggu-minggu berita itu jadi trending topik, tapi si Fahrinya malah cuek bebek. Gue sebagai cewek yang super up-to-date harus mastiin kebenarannya. Sebagai langkah pertama, aku pergi ke kantor BK. Cari alamat sama data-data pribadi dia. Untungnya lagi ada pak Amir, staf BK yang kebetulan ada di kantor.
“Ehh ada Desta, kenapa nak?’ “Anu,, Pak, saya ada keperluan sama Fahri, tapi ga tau rumahnya dimana” kataku bohong. “Ohh Fahri yang satu kelas sama kamu itu toh?” tanya Pak Amir. “Iya pak”, “sebentar Bapak carikan dulu. Ini nak, tapi bapak agak bingung soalnya banyak banget, kamu cari sendiri ya” balasnya kemudian meninggalkanku sendiri di ruang BK. “Oh iya pak makasih udah dibantuin” jawabku melihatnya berlalu.
Begitu Pak Amir keluar ruangan, cepat-cepat aku cari data si Fahri. Agak kecewa sih, ternyata data dia ga sebanyak murid lain. Akhirnya ketemu. Alamatnya di Jl. Pusaka no 35, jauh juga ya, kalo dari rumahku skitar 25 menit plus ngebut.
Esok harinya kebetulan hari Minggu, yah namanya juga jomblo, bisa tidur seharian itu lebih asik daripada nungguin ada yang ngapel. Tapi sayangnya minggu ini aku harus mulai investigasi si Fahri. Karena takut diledekin temen-temen, aku putusin bua pergi sendiri.
Begitu sampe komplek rumah dia. Alangkah sialnya, tiba-tiba dia nyebrang jalan aja di depan gue. Untung gue pake helm, ketutup. Yang lebih anehnya lagi, dia cuma pake sarung kotak-kotak sama kaos abu-abu dan bawa plastik yang isinya kangkung, bungkusan cabe, bumbu masakan sama mie instan dan sekaleng sarden dari tukang sayur. Kekagetanku ku berubah jadi keterkejutan. Aku yakin kok kalo dia itu Fahri, asli. Terpaksalah gue berhenti deket tukang sayur keliling yang dibeli Fahri tadi. Samar-samar aku denger kalo ibu-ibu disana pada gosipin Fahri, lebih ke arah memuji sih. Soalnya Fahri itu pinter masak, mandiri, ga pemalu. Dan ternyata semua itu harus dia jalani karena dia udah ga punya ibu.
Ibu Fahri meninggal waktu Fahri masih kelas 2 smp. Sebagai anak semata wayang, dia itu sayanggggg baget sama ibunya. Setelah ibu Fahri meninggal dia hidup sama ayahnya yang selalu sibuk. Ayahnya kerja dan pulang sebulan sekali itupun cuma 2 atau 3 hari. Dia ngrasa ga ada yang bisa samain rasa sayang ibunya ke dia, termasuk temen-temen ceweknya.
Aku turut sedih denger cerita dia dari ibu-ibu komplek. Pengen sih bisa tunjukin rasa simpati ini ke dia, tapi mau gimana lagi, dia kan cuek’ kataku dalam hati.
Hari senin, hari paling menyebalkan, melelahkan di awal minggu. Itu pikirku awalnya. Tapi setelah ada dibarisan upacara, aku jadi bingung, soalnya Fahri berdiri disamping aku. Mau nyapa takut dicuekin, mau cuek takut dianggap angkuh, kan bingung jadinya.
‘Eh des, kamu kemaren mau kemana’ tanyanya memecah keheninggan.
“Degg.. Hahhh, kemaren?, emang kamu dimana, kok tau aku? tanyaku gagap.
“Emm.. Kemaren kan minggu, biasa lah aku kan maen” jawabnya polos. (whatt, hamsyong. Dia mau boong tapi dia ga tau kalo aku kemaren liat dia. Aasudahlah lanjutkan). Aku ga berani ngomong ke dia kalo aku tahu semuanya. Jadi aku pura-pura ga tau aja.
Pelajaran pertama dimulai. Bahasa inggris. Ini gue jagonya. Tema hari ini ‘describing people’. “Baik anak-anak Mam mau kalian semua buat cerita mendeskripsikan seseorang kemudian maju satu per satu untuk membacakan tulisan kalian.” kata uguru didepan sana. Anak-anak pada ribut sana-sini. Tapi aku dengan santainya cuma bisa melihat tanganku menari-nari sambil senyum-senyum karena yang aku deskripsikan itu boyband korea ganteng favorit aku. 20menit berlalu sekarang kami semua tegang siapa yang akan dipanggil duluan. “Ya kamu Fahri” panggil bu guru.
Mata kami semua tertuju kearah Fahri seakan mengiringi langkahnya berjelan kedepan kelas. Kulihat betul betul setiap perubahan ekspresinya wajahya. Sampai dia membacakan tulisannya yang berjudul ‘My Mother’. Karena aku yang paling jago bahasa inggris dikelas ini, maka aku tahu setiap makna yang coba dia sampaikan lewat tulisannya yang belepotan. Bisa ditarik garis besar bahwa ‘Aku merindukanmu Ibu. Sangat mencintaimu. Tidak akan ada seorang wanita yang mampu menyanyangiku lebih dari dirimu. Tapi setelah kepergianmu, izinkan aku merasakan hal itu lagi, merasakan bahwa masih ada wanita lain yang bisa mencintaiku layaknya dirimu. Sekian.”
Tepuk tangan memecah keterhanyutan Fahri dalam tulisannya. Ternyata memang benar apa yang ibu-ibu komplek bilang. Dan entah karena tulisan Fahri atau karena Fahri, aku mulai merasa aku harus berubah. Tapi perubahan memanglah tidak mudah sobat. Aku pikir itu harus dimulai dari niat – hati – pikiran – sikap – kemudian penampilan. Esok harinya adalah hari pertama niatku ku bulatkan. Karena kupikir memang tidak ada salahnya berubah mulai saat ini. Lagipula sebentar lagi aku lulus, kemudian bekerja dan setelah itu menikah. Tentu ini bekal yang baik untuk kehidupan rumah tanggaku, kan?
“Hai Fahri” sapaku ketika berjalan ketempat dudukku yang ada didepan pojoknya. Tapi bukan Fahri namanya jika tak membuat para cewe kesal. “Jawab kenapa. Gue tu lagi ngomong sama elo boy. Sok kegantengan amat sih” batinku dalam hati. Kemudian aku teringat “Sabar Des, niat, niat..”
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh” salam Pak Amir ketika masuk kelas. Materi hari ituu benar-benar menyenangkan menurut. Selain memotivasi kami agar lulus dengan hasil yang memuaskan beliau juga berpesan pada kami agar kelak impian dan cita-cita kami bisa terwujud ditahap selanjutnya. Tapi tak semenyenagkan itu ketika beliau berkata “baik anak-anak, sebagai tugas terkait materi hari ini, Bapak minta kalian membuat visualisasi tentang masa depan kalian.” “Hahh.. apalah maunya orang ini” batinku. “Caranya gimana Pak?. Ahh.... Bapak ini. Ngumpulnya kapan Pak? Visualisasi itu apa Pak?” teriak satu persatu teman-temanku kebingungan. “Oke, diam semua, diam. Jadi Bapak pengen kalian menggambarkan seperti apa impian/cita-cita kalian. Caranya dengan dibuat video. Terserah mau seperti apa terserah kalian. Bapak kasih waktu 3 minggu. Supaya lebih mudah, Bapak pengen kalian bekerja berpasangan. Jadi silakan dirundingkan sendiri. Bapak mau keluar. Silahkan istirahat. Wassalamu’alaikum.”
Suasana kelas hari itu bertambah gaduh. Kawan-kawanku sibuk mencari pasangannya masing-masing. Tapi aku malah merenung. Bukan karena tugasnya yang sulit, tapi karena aku bahkan tidak tahu aku mau jadi apa dimasa depan. “Asuuu..dahlah, nanti saja, sekarang aku lapar” pikirku kemeng. Singkat cerita, setelah istrirahat aku meminta teman sebangkuku sekelompok bareng aku. “Sorry Des, aku udah sama Sari”, dan sama seperti itulah jawaban yang diberikan ketika aku minta Jihan, Nana, Radit, Ijah, dll. Tapi masih ada satu orang, Fahri. Aku heran dia bahkan ga respon sama sekali ketika belum dapet pasangan. Aku sebagai pelopor cewe gaul, ngehit dan pelopor cewe baik-baik akhirnya nyamperin dia duluan meski aku yakin dia ga terlalu respon. “Fahri, kamu sendiri juga kan? Berarti kita satu kelompok, oke? Kita mau negrjain kapan? Dimana? Kalo rumahku sih agak jauh dari sekolah. Tapi kalo kamu ga mau kerumahmu, kita bisa kerumahku kok. Gimana kalo mulai hari ini aja. Jadi nanti kamu ga usah makan siang dulu. Kita makannya dirum... “Kita kerumahku aja Des, nanti kita makan dirumahku aja” jawabnya kalem, singkat, padat, jelas, mengalahkan pertanyaanku yang cuma satu tarikan nafas”.
Sepulang sekolah kami pulang ke rumah Fahri. Rumahnya ga terlalu gede. Tapi disini pemandangannya bagus karena ada diatas sawah. “Udara disini seger banget ya, Ri” kataku sambil menengok ke arahnya, tapi dia ga ada ditempat. Setelah ku cari-cari ternyata dia lagi masak. Akupun mlongo kayak sapi koplo. Ternyata dia masak tumis jamur. Akupun menghampirinya. Bukan untuk membantu, tapi mengendus wangi harum dari wajannya layaknya anak kecil kelaperan hampir ngeces. Dia yang melihatkupun seketika tersenyum geli. Tipis tapi aku sempat melihat senyum langkanya itu. “Hahh... kamu tadi senyum.” kataku menggoda dia. “Apaan sih Des” muakanya memerah. “Hahahahahaha....” akupun tertawa kekel melihat jaimnya dia. “Udahlah, ayuk makan, kamu laper kan” balasnya lembut. “Iya nih laper” balasku kegirangan. Dia pun tersenyum, kami pun tertawa.
“Gimana kalo video kita dibikin drama” tanyanya disela makan siang kami. Langsung saja kubalas “maksudnya?”. “Iya, jadi kita kaya peragain diri kita yang udah berhasil wujudin cita-cita kita nanti”. “Emm... iya-iya”. “Hehh, iya dari mana? orang kamu makan ga kelar-kelas gitu”. “Abis masakan kamu enak sih, kayak masakan ibuk aku, slurrrppp... Ehh aku salah ngomong ya? batinku menyadarinya. “Ternyata kamu itu kayak anak kecil ya. Disekolah aja gayanya dewasa” ocehnya lagi tapi tak terlalu keperdulikan.
Akhirnya kami mulai bekerja. Kami lebih pilih duduk diteras belakang rumah. Karena disini pemandangan sawahnya bagus, sejuk dipandang mata. Aku hanya melihat Fahri yang fasih memainkan laptop dipangkuannya. Jari-jarinya yang lincah bermain diatas keyboard juga bibirnya yang kulihat terus bergerak tapi tak bersuara, atau mungkin aku yang tak begitu mendengarkannya. Belum pernah kulihat Fahri yang seperti itu. Kami juga makin deket. Kini saat dikelas, kami sering diskusi bareng tentang video kami atau sekadar aku cerita betapa jaimnya dia dan pandangan temen-temen ceweku tentang seperti apa dia dimata mereka. “Aku ga nyangka Des..”kata Fahri keheranan. “Ga nyangka gimana” tanyaku. “Aku ga nyangka kalo aku bener-bener sebegitu tekenalnya” jawabnya polos. Aku mendengarnya langsung saja mendaratkan pukulan dibahunya, gregetzz.
“Cieee... Desta, ga nyangka ya, ternyata elo doyan juga sama HOMO” celetuk suara diseberang sana. Aku dan Fahripun terkejut dan seketika menoleh ke sumber suara. Ternyata si Bella. “Apaan sih elo Bel, siapa yang bilang Fahri itu homo. Dia ga separah yang elo pikir tau. Dia itu begini karena ibunya udah gak ada buat jagain dia.” teriakku penuh emosi. “Bruk” suara kursi terjatuh. Mata seisi kelas melihat kearah kami bertiga. Dan sekarang kulihat Fahri sedang menatapku dalam-dalam. Dan langsung saja dia mengambil tasnya lalu pergi.
“Ma’afin aku Ri. Fahri? Buka pintunya!” pintaku sambil mengetuk pintu rumahnya. Aku tau Fahri ada didalam. Dan aku tau mungkin aku kelewatan karena mengatakan kebenaran tentang ibunya pada teman-teman dikelas. Dan kini terasa ada yang jatuh ke pipiku. Aku terisak penuh penyesalan sambil tak henti-hentinya memanggil Fahri yang ada didalam sana. “Aku tau aku salah. Aku pamit. Daa.., Fahri” kataku sedih.
Aku gak nyangka. Baru beberapa hari kami deket, sekarang dia balik kayak Fahri yang dulu. Dingin, ga suka deket cewe apalagi ngobrol sama aku lagi. Karena saking ngempetnya, aku nekat stop dia dilorong kelas. “Fahri, kamu kenapa sih? Aku tau aku salah, aku minta maaf. Tapi kamu ga usah lebay gini kenapa?” aku memohon. Seketika itu dia berbalik dan berkata, “Iya, ini semua emang salah kamu”. “Jadi kamu maunya apa sih? Jangan diem-diem gini” aku makin menjadi-jadi. “Ini” ditariknya tanganku dan diletakkan sebuah Flashdisk hitam miliknya. “Ini video aku, aku udah selesai. Silahkan kamu urus punyamu sendiri. Maaf aku ga bisa bantuin kamu lagi” seketika itu dia pergi.
Esok hari tiada Fahri dikelas. Dua hari, lima hari. Sampai satu minggu kemudian. Fahri benar-benar pergi. Video kamipun tak pernah sampai ke tangan Pak Amir. Dan baru kali ini para guru heran padaku, karena untuk pertama kalinya prestasiku menurun, belajar gak semangat seperti dulu dan banyak pasif dikelas. Hingga Pak Amir memanggilku ke ruangan BK. “Nak Desta ini kenapa? Kok Bapak perhatikan sekarang prestasi kamu menurun. Ada masalah apa memang kalo Bapak boleh tau?” tanyanya mengkhawatirkanku. “Bapak tau Fahri teman sekelas Desta kan?”. ‘Iya’. Sekarang dia udah pergi Pak. Semua ini gara-gara Desta. Fahri marah sama Desta Pak. Desta ngerasa bersalah, tapi Fahri ga mau dengerin penjelasan Desta” jelasku sambil sedikit tersisak. “Ohh jadi begitu. Begini nak Desta. Semua ini bukan salah kamu. Sebenernya, Fahri dijemput ayahnya, karena ayahnya kasian Fahri disini sendirian. Jadi dia pindah sekolah kesana.
Setidaknya perkataan Pak Amir sedikit membuatku merasa baikan. Biarlah Fahri bahagia disana Tuhan. Bukankah lebih baik jika dia dengan ayahnya daripada sendiri disini? Aku menghela nafas mengamati jalanan dari dalam jendela lantai 2 kamarku. Mataku kemudian mengamati keseluruhan meja belajarku ‘”berantakan sekali” pikirku. Seketikaitu aku menyadari benda asing terselip diantara buku-buku tebal, rupanya itu flashdisk milik Fahri. Aku bahkan tak ingat kalau dia pernah memberikannya. Kubuka isinya, hanya ada satu file berjudul. Seingatku Fahri pernah bilang kalau isinya video, tapi ternyata bukan. “Hahh.. apa maksudnya ini?” kataku dengan heran..
My Beautiful Future
.
.
.
Satu-satunya hal terindah dalam hidupku adalah Ibuku
Dulu kipikir begitu,
Ibulah yang membawaku ke kehidupan ini
Namun kaulah yang membuatku begitu hidup
Tapi aku bukan seperti kebanyakan lelaki yang ada dalam buku harianmu
Aku memikirkan cara lain yang nantinya ‘kan membuatmu terkesan ketika mengetahuinya
Dibangku belakang kelas ini aku sering berpikir,
tapi rupanya kau tidak tahu, jika otakku berjalan saat aku berdiam diri
Mulai besok aku pergi ikut dengan ayah untuk pindah sekolah
Disana aku dapat pekerjaan mengajar di SDku dulu
Aku pikir ini cara terbaik untuk merubah kepribadian anehku, seperti yang pernah kau bilang
Aku tau kau memperhatikanku selama ini
Pengintaian, kerja kelompok, kisah ibuku, perubahanmu, diteras belakang; aah.. setidaknya masakanku bisa mewakili rasa syukur terima kasihku
Maaf karena tak sempat berpamitan dengan kesan yang baik padamu
Kau belum kuizinkan melihat videoku sekarang
Jadi mari kita lihat itu bersama-sama suatu hari nanti
.
.
.
“Apa maksudmu Fahri?” aku bertanya-tanya dengan marah, sedih juga senang. Meninggalkan misteri Fahri dan kenangan indah semasa SMA. Kini aku lebih memiliki bekerja di tempat usaha fotocopyan kampus baruku.
Berkat kepandaianku juga keaktifanku di SMA dulu. Aku banyak memiliki aktifitas tambahan di kampus. Oh iya, sekarang aku kuliah mengambil jurusan Hubungan Internasional, makanya aku harus berbaur dari mulai kalangan bawah sampai elit profesor. Acara seperti seminar, workshop, sampai pelatihan, akan kurang menarik rasanya tanpa adanya kehariranku, hhehehe.... Seperti sekarang ini, aku lagi ngurusin seminar tentang Psikologi Remaja yang diadain 10 hari lagi. Selain jadi pengurus, aku juga jadi perwakilan organisasi mahasiswa H.I.
“Desta, kamu sekarang tolong ke fotocopyan ya. Ambil banner, pamflet, ATK buat peserta, juga materi seminar, oke? kalo bisa sebarin pamfletnya juga ya..”pinta Dwi panjang lebar. “Hnnn, iya. (ini cowo ga peka amat sih ya, kenapa gue juga sih? dasar jomblo, ehh gue kan juga jomblo, tchh.. )” aku mbatin. Setelah mengecek keuangan, aku langsung bergegas ke tempat yang diminta. Disana ada tumpukan pesanan setinggi 40 cm, pesanan kami. Belum habis kekesalanku, kini ditambah ini. “Shitt” cuma itu yang bisa keluar. Diperjalanan ke aula gedung, aku bagikan saja pamflet itu, siapapun yang lewat didepanku aku sodorkan saja pamflet yang ku bawa. Yang sedang duduk, menunggu pacarnya, bahkan yang tengah berduaan juga tak ketinggalan. Melelahkan memang tapi hal itu terbayar saat hari yang dipersiapkan tiba.
Pesertanya penuh. Karena pembicara yang kami undang merupakan orang yang ahli di bidang psikologi. Dengar-dengar beliau masih muda dan ganteng pula. Dan pantas saja histeria para peserta pecah ketika yang ditunggu datang. Kami berdiri serempak dan tepuk tangan kamipun menambah bisingnya aula ini. “Fahri?? Orang itu mirip Fahri. Tunggu, nama, nama, mana sihh, ini dia, pembicara : M. Abi Fahridza. Ya Tuhann....” wajahku kaku tak bergerak.
Dia bukan Fahri yang pernah kukenal dulu. Dia; dia; mengagumkan. Tak kualihkan pandanganku pada sosok didepan sana. Lelaki yang dingin itu kini benar-benar hangat pada semua orang. Sepasang kaca mata juga membuatnya berbeda dengan yang dulu. Begitu bersinar, memukau dan menenangkan. Tapi aku bisa apa? Dia bahkan tak tahu kalau aku ada disini atau mengingatku lagi. Aku bahkan malu menampakkan diri dihadapannya. Apa ini yang dinamakan cinta? Semacam perasaan acuh untuk mengakuinya namun rindu untuk mengungkapkannya.
Begitu saja sampai acara berakhir. Sampai dia keluar ruangan ini setelah berpamitan pada kami semua. Senyum sumringah bahkan membimbing langkahnya menuju pintu keluar. Tapi aku belum beranjak dari tempat dudukku. Dengan rasa kecewa bercampur bahagia, kagum , sedih, aku keluar. Menaiki anak tangga menuju atap. Aku pikir aku bisa bercerita pada angin, pada matahari, pada awan atau hanya diam saja.
“Aku merindukanmu, Fahri” suara tertahan ditenggorokanku. “Benarkah?” seketika aku berbalik saat ada suara lain dibelakangku. Mataku terbelalak, hampir berkaca-kaca. “Maaf anda salah orang. Permisi.” kataku pada orang itu sambil berjalan menghindarinya. “Desta Maharani. Cewe paling ngehits dan gaul di SMA dan yang paling ceria yang pernah gue kenal. Ga suka pilih-pilih temen dan suka membela mereka yang lemah.” Apa kamu masih kaya yang dulu, Desta? pertanyaan sinisnya menghentikanku dan yang kutau dia adalah Fahri. Aku masih dia tertunduk membelakanginya. “Banyak hal berubah, Fahri. Dan kamu ga tau apa yang udah aku lalui” air mataku pecah. Kudengar derap langkah kakinya mendekat kemudian berhenti tepat dibelakang punggungku. Lalu kurasakan kedua tangannya memegang kedua pundakku lalu memutarnya agar dia bisa melihat wajahku. Aku masih tertunduk juga terisak. “Hei.. hei.. aku kemari bukan untuk melihatmu menangis” ucapnya sambil mencoba mensejajarkan wajah kami. “Aku kayak gini karna kamu, Fahri. Kamu yang bikin aku ngerasa bersalah karena udah ngomongin soal ibu kamu kesemua orang. Terus kamu pergi gitu aja. Tanpa pamit, tanpa kabar, tanpa penjelasan. Dan sekarang kamu kesini tanpa ngasih tau aku? Mau kamu apa Fahri? Aku harus gimana? tangisanku benar-benar tak terbendung lagi. Namun sosok didepanku ini dengan perlahan meraih tubuhku yang mungkin bisa terjatuh kapan saja. Dipeluknya aku dan dia berkata “Karena aku pengen tau seberapa penting aku buat kamu. Dan sekarang kamu nangis demi aku?! Makasih Des, karena udah khawatirin aku. Makasih juga karena kamu udah belain aku didepan Bella waktu itu. Makasih banyak.” Kulepaskan pelukannya dan kini aku melihat matanya dalam-dalam. “Kalo aku boleh kasih saran, ada baiknya sekarang kamu ke rest area deh? tanyanya membuatku bingung, lalu aku jawab “Dimana?”, “Didadaku, hhehe....” Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya. Tak lupa kudaratkan tinjuku di ‘rest areanya’ itu.
Fahri Flashback
- Aku senang bisa duduk dibangku ini. Karena aku tidak akan pernah mendapat pemandangan seindah ini dari bangku-bangku yang lain. Punggungmu, tingkah lakumu dan senyummu. Tidakkah kau tahu, dalam diam aku mengagumimu, Desta. Dan aku telah berdiam ditempat yang sama selama 3 tahun, dihatimu.
- Maaf aku terlalu bisu untuk mengatakan ‘selamat pagi’ padamu.
- Hari minggu ini aku bahagia Tuhan karena bisa melihatnya, walaupun tertutup helm, tapi setidaknya aku tak pernah lupa kepunyaan siapa itu. Tapi aku malu untuk menyapanya dengan sarung dan tas belanjaan ini. Mungkin lebih baik aku pura-pura tidak tahu.
- Kenapa aku deg-deg hanya karena berdiri disampingnya. Berpikir Fahri, berpikir! “Eh des, kamu kemaren mau kemana” tanyaku kikuk. Ahh... betapa bodohnya aku.
- Aku benar-benar berharap bisa menceritakan semua mimpi dan cita-citaku padamu. Karena kaulah pemeran utamanya dari semua itu.
- Aku harus membuatnya senang. Kali ini hanya kami berdua. Lebih baik aku membuatkannya masakan favoritnya, tumis jamur.
- Dia suka masakanku? Wajahnya bahkan lebih cantik saat makan. Dan kau seperti anak kecil. Aku suka itu.
- Dia dan teman-temannya ternyata sering memperhatikanku. Aku pikir aku harus mengatakan bahwa aku menyukainya. Satu, dua, tiga, “Cieee... Desta, ga nyangka ya, ternyata elo doyan juga sama HOMO”.
- Jadi dia tahu tentang ibuku. Terimakasih Desta telah membelaku. Air mataku hampir jatuh jika aku tidak keluar kelas karena terlalu bahagia.
- Ayah ingin aku ikut dengannya untuk menjadi siswa di sekolah pendidikan motivator miliknya. Aku sedih harus berpisah denganmu Desta. Ditambah lagi aku belum mengatakan apapun padamu. Aku tidak mau kau melihat air mataku jatuh saat aku berpamitan dengamu jadi kuberikan ini My Beautiful Future.
- Aku harus berubah. Aku ingin kau melihat ku dengan mata yang berbinar. Aku ingin mendengarmu mengatakan “Terimakasih sudah mencintaiku. Kelak aku pasti akan membalasnya”.
- Disini aku merindukanmu. Aku stalk halaman facebook dan twittermu. Ternyata kau sekarang makin cantik dengan jilbab. Secepatnya aku akan menemuimu.
- Sambil duduk aku hanya melihatmu berjalan didepanku. Dan tumpukan itu rasanya berat. Aku ingin membantu, tapi ini belum saatnya kau bertemu denganku.
- Dimana kau Desta. Tau kah kau aku mencarimu diantara ratusan peserta diruangan ini. Kau pasti sudah mengenaliku sekarang. Bagaimana? Apa kau suka denganku sekarang?
- Dari pintu tolilet laki-laki aku melihatmu naik ke atap. Aku rasa ini waktu yang tepat untuk bertemu denganmu karena aku tak sabar untuk bisa melihat senyummu lagi seperti waktu dulu.
Bibirku tersungging bahagia. “Aku senang mendengarnya Fahri. Aku tak tahu kau bisa sedalam itu. Terimakasih sudah mencintaiku.”
Hari itu dia mampir ke tempat kerjaku untuk mencopy beberapa dokumen yang kemudian dimasukkan ke map plastik yang ku tahu itu dari acara seminar yang pernah kami datangi bersama. Ku pandangi terus map berwarna kuning itu hingga teringat masa-masa yang kami lalui dalam segala keterbatasan. Senyum seringai kemudian tergambar jelas dibibirku.
“Ini habis berapa des? Ohh, emmm.. Ini.., ini delapan, enam ribu aja deh”. “Loh kok gitu?” “Edisi pagi, korting..hehe..” ‘Yahh ada-ada aja kamu, ya udah makasih ya, aku jalan dulu, doain aku berhasil oke?’ “Iya, jangan lupa traktirannya” kemudian dianggukan kepalanya sambil berlalu kencang dengan mobil sedannya.
Semoga beruntung, kekasihku.
***
No comments:
Post a Comment